Contoh Karya Ilmiah UT Jurusan Sastra Inggris Terbaru!

Bagikan:
Logo Universitas Terbuka

PROSES PENERJEMAHAN PADA TEKS LAPORAN

(Studi kasus: Artikel berjudul “Did Venus ever have oceans?”)

Disusun oleh:

Achmad Sekhudin

031190997

achmadsekhudin@gmail.com

PROGRAM S1 SASTRA INGGRIS BIDANG MINAT PENERJEMAHAN

FAKULTAS HUKUM, ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TERBUKA

2021

Abstrak

Penerjemahan adalah proses menyampaikan makna dari sebuah BSu (bahasa sumber) atau TSu(teks sumber) ke dalam BSa(bahasa sasaran) atau TSa(teks sasaran) sesuai dengan maksud pengarang dengan baik dan dapat di mengerti oleh pembaca. Karya ilmiah ini merupakan studi kasus penerjemahan teks laporan yang berjudul “Did Venus ever have oceans?” tulisan dalam website https://www.sciencedaily.com sebagai teks sumber (TSu) kedalam bahasa indonesia yang merupakan teks sasaran (TSa). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan aspek- aspek teoretis penerjemahan dan bagaimanakah proses pengalihbahasaan teks sumber (TSu) kedalam teks sasaran (TSa) agar menghasilkan terjemahan yang sepadan. Dalam proses penerjemahan perlu diadopsi  metode dan prosedur penerjemahan khusus agar tidak keliru dalam melakukan pengalihan kebahasaan.

Kata kunci : Karya ilmiah penerjemahan, penerjemahan, metode penerjemahan, translation,  neuro linguistic programming, NLP, Science, venus

PENDAHULUAN

Latar Belakang

            Dalam bahasa Indonesia, istilah penerjemahan berasal dari bahasa Arab “tarjammah” seperti disebutkan Hoed (2006). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tarjammah ini berarti ikhwal pengalihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Dalam bahasa Inggris digunakan “translation” dan dalam bahasa Perancis “traductare”.

            Kemudian Newmark (1981:7) mengusulkan definisi berikut: “Translation is a craft consisting in the attempt to replace a written message and/or statement in one language by the same message and/or statement in another language” atau penerjemahan merupakan keterampilan atau kemampuan menyampaikan kembali sebuah pesan atau penyataan dalam sebuah bahasa dengan pesan yang sama atau pernyataan yang sama dalam bahasa yang berbeda. Berdasarkan definisi yang diajukan oleh Newmark (1981; 1988), ia memandang penerjemahan dengan luas. Menurutnya, “translation is rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” (Newmark, 1981:7; 1988). Dari definisinya, kita pahami bahwa penerjemahan adalah menyampaikan makna dari sebuah BSu (bahasa sumber) atau TSu(teks sumber) ke dalam BSa(bahasa sasaran) atau TSa(teks sasaran) sesuai dengan maksud pengarang teks tersebut.

            Dalam melakukan penerjemahan, masalah-masalah akan selalu muncul karena dalam proses pengalihan bahasa, harus mempertimbangkan budaya TSu dan TSa. Sebagai contoh penerjemahan istilah-istilah yang ada dalam sains ke dalam berbagai bahasa. Dalam artikel atau teks bertema sains maupun tekhnologi masalah-maslah yang mungkin muncul adalah istilah-istilah yang baku seperti CO2, Faint Young Sun paradox, dan sebagainya. Apaka harus diterjemahkan atau dibiarkan saja (borrowing).

            Dalam laporan ini, penulis akan mencoba menerjemahkan teks laporan dari artikel yang berjudul “Did Venus ever have oceans?” tulisan dalam website https://www.sciencedaily.com. Penulis akan membahas mulai dari jenis teks, proses penerjemahan, prosedur penerjemahan, metode penerjemahan, masalah penerjemahan, dan lainnya berkaitan tentang penerjemahan.

Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis menyimpulkan permasalahan yang diangkat dalam karya ilmiah ini, yaitu:

  1. Bagaimana proses penerjemahan teks dari bahasa inggris ke bahasa indonesia        dengan baik dan benar ?
  2. Teknik dan prosedur penerjemahan apa yang cocok digunakan dalam         menerjemahkan teks bertema sains dari bahasa inggris ke bahasa indonesia?
  3. Bagaimana mengatasi kendala dalam menerjemahkan teks bertema sains dari        bahasa inggris ke bahasa indonesia?

Tujuan Penulisan

Menghasilkan terjemahan yang baik sesuai isi teks sumber

Menjelaskan ihwal penerjemahan dari proses, metode, dan prosedur

Menjabarkan solusi penerjemahan antar budaya

Menemukan informasi baru dari sumber teks terkait penerjemahan

Manfaat Penulisan           

Manfaat dari tulisan ini untuk menghasilkan terjemahan yang baik dan bisa diterima dalam TSa. Selain itu, diharapkan tulisan ini mampu menambah wawasan dan khasanah keilmuan bagi penulis khusunya maupun orang lain yang membacanya terutama dalam ihwal penerjemahan.

TINJAUAN PUSTAKA

  • Definisi Penerjemahan

            Pertama mari kita amati definisi penerjemahan yang diajukan oleh Nida (1964) dan Nida dan Taber (1982) bahwa: “Translating consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style” atau penerjemahan merupakan kegiatan mereproduksi kembali pesan dari bahasa sumber dengan padanan alami terdekat dalam bahasa sasaran, pertama dari segi makna dan yang kedua segi gaya. Definisi Nida ini menjelaskan bahwa penerjemahan merupakan kegiatan reproduksi pesan dengan padanan alami terdekat dalam bahasa sasaran dengan memperhatikan pesan dan gaya bahasa. Pada definisinya, Nida menegaskan bahwa yang harus dipertahankan pesan dan gaya bahasa, bukan struktur atau bentuk kata.

            Kemudian Newmark (1981: 7) mengusulkan definisi berikut: “Translation is a craft consisting in the attempt to replace a written message and/or statement in one language by the same message and/or statement in another language” atau penerjemahan merupakan keterampilan atau kemampuan menyampaikan kembali sebuah pesan atau penyataan dalam sebuah bahasa dengan pesan yang sama atau pernyataan yang sama dalam bahasa yang berbeda. Berdasarkan definisi yang diajukan oleh Newmark (1981; 1988), ia memandang penerjemahan dengan luas. Menurutnya, “translation is rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” (Newmark, 1981:7; 1988). Dari definisinya, kita pahami bahwa penerjemahan adalah menyampaikan makna dari sebuah BSu (bahasa sumber) atau TSu(teks sumber) ke dalam BSa(bahasa sasaran) atau TSa(teks sasaran) sesuai dengan maksud pengarang teks tersebut.

  • Metode Penerjemahan

            Newmark (1988) Menyatakan bahwa ada delapan metode penerjemahan yang di susun dalam sebuah V diagram. Metode tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu empat metode pertama menggunakan pendekatan bahasa sumber (BSu) kemudian sisanya menggunakan pendekatan bahasa sasaran (BSa). Metode-metode tersebut sebagai berikut:

            Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa semakin dekat metode penerjemahan dengan garis TSu, maka semakin dekat pula kesepadanannya dengan TSu. Maka dapat disimpulkan bahwa metode penerjemahan semantis dan komunikatif adalah metode yang paling tepat disebut sebagai terjemahan menurut Newmark.

Metode penerjemahan dengan penekanan pada BSu:

  • Penerjemahan Kata demi kata (Word-for-word Translation)

            Yakni metode penerjemahan dengan cara menerjemahkan kata per kata dan mempertahankan susunan penulisan dari TSu.

Contoh :

TSu : Every weekend Achmad and his family go to a garden.

TSa : Setiap akhir pekan Achmad dan keluarganya pergi ke sebuah taman.

Penerjemahan kata demi kata hanya bisa digunakan pada teks yang sederhana.

  • Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)

            Yaitu metode penerjemahan dengan cara menerjemahkan TSa sedekat mungkin struktur padanannya dengan TSu. Terjemahan ini akan terlihat kaku, namun terjemahan ini cocok untuk menerjemahkan kata budaya yang tidak ada dalan TSa seperti ekologi, benda budaya, dan budaya sosial .

Contoh :

TSu : They are in good hands now.

TSa : Mereka ada di tangan tangan yang baik sekarang.

  • Penerjemahan Setia (Faithful Translation)

            Yakni metode penerjemahan dengan menghasilkan terjemahan yang setia dengan pola BSu sehingga makna kontekstual dari TSu tercipta kembali pada TSa.

Contoh :

TSu : The pandemic of covid 19  has affected many lives including animals

TSa : Pandemi kovid 19 mempengaruhi banyak jiwa termasuk binatang.

  • Penerjemahan Semantik (Semantic Translation)

            Yakni metode penerjemahan yang hampir sama dengan Penerjemahan setia, namun dalam penerjemahan semanatis nilai keindahan dan kewajaran dari BSu lebih diperhatikan.

Contoh:

TSu : Ani has 3 daughters

TSa : Anak perempuan ani ada 3

*TSa di atas diciptakan sedekat mungkin dengan penutur BSa.

Metode penerjemahan dengan penekanan pada BSa:

  • Adaptasi (Adaptation)

            Dalam metode penerjemahan adaptasi nama dan tokoh biasanya dipertahankan, namun kata budaya dalam BSu diubah ke budaya BSa.

Contoh :

TSu : Mr. Achmad, may I have your attention, please?

TSa : Pak Achmad saya mohon perhatiannya.

  • Penerjemahan Bebas (Free Translation)

            Adalah penerjemahan bebas yang berupaya memenuhi “selera” pembaca TSa. Dalam penerjemahan bebas, isi lebih diutamakan namun bentuk dikorbankan.  Sehingga apapun dilakuakn agar pembaca TSa mengerti.

Contoh :

TSu : Childern need to be protected at all cost.

TSa : Lindungi anak-anak kita bagaimanapun caranya.

  • Penerjemahan Idiomatik (Idiomatic Translation)

            Adalah metode penerjemahan yang menggunakan ungkapan idiom atau kolokial yang mungkin tidak terdapat dalam budaya BSu.

Contoh :

TSu : I believe in you, break a leg !

TSa : Aku yakin padamu, semoga beruntung!

  • Penerjemahan Komunikatif (Communicative Translation)

            Adalah metode penerjemahan yang berupaya menyampaikan isi atau pesan dalam TSu ke TSa secara lugas, wajar, tetap, serta komunikatif sesuai dengan latar pembaca TSa. Makna kontekstual pada BSu diterjemahkan sedemikian rupa sehingga baik isi dan bahasanya dapat dipahami pembaca. Terjemahan ini bergantung pada siapa yang akan membaca TSa nya.

Contoh :

TSu : Mike Tyson got disqualified after commiting a low blow to his opponent.

TSa 1: Mike tyson didiskualifikasi akibat memukul di bagian bawah pusar lawannya

*Terjemahan ini ditujukkan untuk awam atau bukan penonton tinju karena istilah low blow awam bagi mereka, jadi harus dijelaskan.

TSa 2 : Mike tyson didiskualifikasi akibat low blow nya ke lawan.

*Terjemahan ini untuk penonton tinju sehingga low blow dibiarkan karena mereka sudah paham maknanya.


METODE PENELITIAN

  • Metode

            Dalam karya ilmiah ini, metode yang digunakan penulis adalah metode kualitatif yang didasarkan pada analisis tekstual yang melibatkan teks sumber dan teks sasaran serta mengadopsi salah satu model teoretis penerjemahan, yaitu model komparatif (comparative model) dengan rumusan: TSu ≈ TSa, atau TSa ≈ TSu.

  • Data Penelitian

            Data penelitian yang digunakan termasuk jenis teks laporan dalam bidang sains dan pengetahuan yang berjudulDid Venus ever have oceans? tulisan dalam website https://www.sciencedaily.com dengan jumlah kata terdiri dari 755 kata.

  • Pemrosesan Data

            Dalam proses penerjemahan teks laporan diatas, penulis mengalami beberapa kendala dan masalah dalam menerjemahkan kata, frasa kata serta kalimat yang terdapat dalam teks tersebut. Seperti menerjemahkan sebuah idiom pada TSu agar dalam TSa terjemahan idiom tidak menghilangkan makna. Sehingga prosedur penerjemahan teknik parafrasa menjadi pilihan dalam menyedankan makna idiom agar TSa tetap memiliki informasi faktual dan penting yang disampaikan kepada pembaca secara akurat, jelas dan wajar.

            Lalu masalah lain yang muncul adalah dalam menerjemahkan istilah sains dalam bahasa indonesia. Seperti misal kata “Co2” yang yang sudah kita ketahui sebagai unsur kimia dari karbondioksida.  lalu ada pula frasa seperti Faint Young Sun paradox. Demi menjaga kewajaran dan melihat sasaran pembaca, maka penulis memutuskan memilih prosedur penerjemahan borrowing/transferasi yakni tetap mempertahankan bentuk asli kata atau kalimat tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  • Hasil Dan Penerjemahan Teks Sumber ke Bahasa Indonesia
Teks SumberTeks Sasaran
Did Venus ever have oceans? The planet Venus can be seen as the Earth’s evil twin. At first sight, it is of comparable mass and size as our home planet, similarly consists mostly of rocky material, holds some water and has an atmosphere.Apakah Venus pernah memiliki lautan?   Planet Venus dapat dikatakan sebagai saudara kembar bumi yang jahat. Sekilas, ia memiliki massa dan ukuran yang sebanding dengan planet rumah kita, yakni sebagian besar terdiri dari material berbatu, dapat menampung air, dan memiliki atmosfer.
Dalam TSu, frasa “can be seen” penulis terjemahkan menggunakan prosedur penyulihan budaya (newmark 1988) karena konteks nya adalah perkataan yang sudah umum bahwa venus adalah kembaran bumi. Jadi frasa “dapat dikatakan” lebih cocok di sini daripada arti harfiahnya yakni dapat dilihat. Lalu frasa  “Earth’s evil twin” penulis terjemahkan dengan prosedur tambahan agar lebih sesuai. Frasa  “At first sight” penulis terjemahkan dengan prosedur penyulihan budaya karena pada pandangan pertama tidak cocok dengan tema tulisan, jadi penulis menerjemahkannya ke “sekilas”.
Yet, a closer look reveals striking differences between them: Venus’ thick CO2 atmosphere, extreme surface temperature and pressure, and sulphuric acid clouds are indeed a stark contrast to the conditions needed for life on Earth. This may, however, have not always been the case. Previous studies have suggested that Venus may have been a much more hospitable place in the past, with its own liquid water oceans. A team of astrophysicists led by the University of Geneva (UNIGE) and the National Centre of Competence in Research (NCCR) PlanetS, Switzerland, investigated whether our planet’s twin did indeed have milder periods. The results, published in the journal Nature, suggest that this is not the case.Namun, pengamatan lebih dalam menunjukkan perbedaan yang mencolok di antara mereka. Venus memiliki atmosfer CO2 yang tebal, suhu dan tekanan permukaan yang ekstrem, serta adanya awan asam sulfat menjadikan kondisi yang sangat kontras dengan kondisi yang dibutuhkan untuk kehidupan di Bumi. Namun ada kemungkinan kondisi venus tidak selalu seperti yang disebutkan. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa Venus mungkin jauh lebih ramah di masa lalu, dan sempat memiliki lautan. Tim astrofisikawan yang dipimpin oleh University of Geneva (UNIGE) dan National Center of Competence in Research (NCCR) PlanetS, Swiss, menyelidiki apakah kembaran planet kita memang memiliki periode yang lebih ringan. Hasilnya, dalam jurnal Nature, menunjukkan bahwa dugaan itu salah.
Pada frasa  “a closer look” penulis terjemahkan menggunaakan prosedur terjemahan penyuliahan budaya menjadi pengamatan lebh dalam. Lalu setelahnya penulis menggunakan prosedur parafrasa agar struktur lebih sesuai dengan Tsa. Kata-kata yang bermakna organisasi atau lembaga seperti “University of Geneva (UNIGE) dan National Center of Competence in Research (NCCR) PlanetS” penulis terjemahkan menggunakan transferasi/borrowing agar tidak terjadi kesalahan pemahaman. Frasa “suggest that this is not the case.” penulis terjemahkan menjadi menunjukkan bahwa itu salah agar mudah dipahami dan sesuai budaya Tsa.
Venus has recently become an important research topic for astrophysicists. ESA and NASA have decided this year to send no less than three space exploration missions over the next decade to the second closest planet to the Sun. One of the key questions these missions aim to answer is whether or not Venus ever hosted early oceans.Venus baru-baru ini menjadi topik penelitian penting bagi para astrofisikawan. ESA dan NASA memutuskan tahun ini untuk mengirim tidak kurang dari tiga misi eksplorasi ruang angkasa untuk satu dekade kedepan ke planet terdekat nomor dua dengan Matahari. Salah satu pertanyaan kunci yang ingin dijawab oleh misi ini adalah apakah Venus pernah memiliki lautan.
Pada paragraf terakhir penulis melakukan parafrase dikarenakan frasa yang digunakan Tsu akan sulit dipaami apabila diterjemahkan secara harfiah.
Astrophysicists led by Martin Turbet, researcher at the Department of Astronomy of the Faculty of Science of the UNIGE and member of the NCCR PlanetS, have tried to answer this question with the tools available on Earth. “We simulated the climate of the Earth and Venus at the very beginning of their evolution, more than four billion years ago, when the surface of the planets was still molten,” explains Martin Turbet. “The associated high temperatures meant that any water would have been present in the form of steam, as in a gigantic pressure cooker.” Using sophisticated three-dimensional models of the atmosphere, similar to those scientists use to simulate the Earth’s current climate and future evolution, the team studied how the atmospheres of the two planets would evolve over time and whether oceans could form in the process.Ahli astrofisika yang dipimpin oleh Martin Turbet, peneliti di Departemen Astronomi Fakultas Sains UNIGE dan anggota NCCR PlanetS, telah mencoba menjawab pertanyaan ini dengan alat yang tersedia di Bumi. “Kami mensimulasikan iklim Bumi dan Venus pada awal evolusi mereka, lebih dari empat miliar tahun yang lalu, ketika permukaan planet masih cair,” jelas Martin Turbet. “Suhu tinggi yang ada mengindikasikan bahwa air akan berbentuk uap, seperti pada panci masak raksasa .” Dengan menggunakan model atmosfer tiga dimensi canggih, yang mirip dengan alat yang digunakan para ilmuwan untuk mensimulasikan iklim bumi dan evolusi masa depan, tim mempelajari bagaimana atmosfer kedua planet berevolusi dari waktu ke waktu dan apakah lautan dapat terbentuk dalam proses tersebut.
Seperti sebelumnya, istilah organisasi akan dibiarkan (transferasi) UNIGE NCCR PlanetS, Frasa “The associated high temperatures” tidak diterjemahkan secara utuh namun secara semantik tetap tersampaikan. Frasa “gigantic pressure cooker” diterjemahkan ke  panci masak. Dengan alasan keterbacaan lebih baik dari arti harfiah.
“Thanks to our simulations, we were able to show that the climatic conditions did not allow water vapour to condense in the atmosphere of Venus,” says Martin Turbet. This means that the temperatures never got low enough for the water in its atmosphere to form raindrops that could fall on its surface. Instead, water remained as a gas in the atmosphere and oceans never formed. “One of the main reasons for this is the clouds that form preferentially on the night side of the planet. These clouds cause a very powerful greenhouse effect that prevented Venus from cooling as quickly as previously thought,” continues the Geneva researcher.“Berkat simulasi kami, kami dapat menunjukkan bahwa kondisi iklim tidak memungkinkan untuk uap air mengembun di atmosfer Venus,” kata Martin Turbet. Artinya, suhu di venus tidak cukup rendah untuk air di atmosfernya untuk membentuk tetesan hujan yang bisa jatuh ke permukaannya. Sebaliknya, air tetap berupa gas di atmosfer dan lautan tidak pernah terbentuk. “Salah satu alasan utamanya adalah awan yang terbentuk secara istimewa di sisi malam planet. Awan ini menyebabkan efek rumah kaca yang sangat kuat yang mencegah Venus untuk menjadi dingin secepat yang diperkirakan sebelumnya,” lanjut peneliti Jenewa.
Frasa “Thanks to our simulations” diterjemahkan menggunakan prosedur penerjemahan penyulihan budaya menjadi “Berkat simulasi kami”. Frasa  “fall on” penulis terjemahkan ke jatuh ke agar lebih sesuai dengan Tsa. Frasa  “clouds that form preferentially” penulis terjemahkan dan ubah bentuknya (transposisi) dari kalimat aktif menjadi pasif. Selanjutnya kata “preferentially” diterjemahkan menjadi secra istimewa.
Small differences with serious consequences Surprisingly, the astrophysicists’ simulations also reveal that the Earth could easily have suffered the same fate as Venus. If the Earth had been just a little closer to the Sun, or if the Sun had shone as brightly in its ‘youth’ as it does nowadays, our home planet would look very different today. It is likely the relatively weak radiation of the young Sun that allowed the Earth to cool down enough to condense the water that forms our oceans. For Emeline Bolmont, professor at UNIGE, member of PlaneS and co-author of the study, “this is a complete reversal in the way we look at what has long been called the ‘Faint Young Sun paradox’. It has always been considered as a major obstacle to the appearance of life on Earth!” The argument was that if the Sun’s radiation was much weaker than today, it would have turned the Earth into a ball of ice hostile to life. “But it turns out that for the young, very hot Earth, this weak Sun may have in fact been an unhoped-for opportunity,” continues the researcher.  Perbedaan kecil dengan konsekuensi serius Anehnya, simulasi astrofisikawan juga mengungkapkan bahwa Bumi bisa saja mengalami nasib yang sama seperti Venus. Jika Bumi sedikit saja lebih dekat ke Matahari, atau jika Matahari pada ‘masa mudanya’ bersinar seterang  seperti saat ini, planet asal kita akan terlihat sangat berbeda hari ini. Kemungkinan radiasi Matahari muda yang relatif lemah memungkinkan Bumi menjadi cukup dingin untuk bisa memadatkan air yang membentuk lautan kita. Bagi Emeline Bolmont, profesor di UNIGE, anggota PlaneS dan rekan penulis studi ini, “ini adalah kebalikan dalam cara kita melihat apa yang telah lama disebut ‘paradoks Matahari Muda Pudar’. Hal itu selalu dianggap sebagai hambatan utama bagi munculnya kehidupan di Bumi!” Argumennya adalah jika radiasi Matahari jauh lebih lemah daripada hari ini, itu akan mengubah Bumi menjadi bola es yang mustahil untuk adanya kehidupan. “Tetapi ternyata bagi Bumi yang masih muda dan sangat panas, Matahari yang lemah ini sebenarnya merupakan kesempatan yang tidak diharapkan,” lanjut peneliti.  
Frasa “unhoped-for opportunity “ diterjemahkan ke “kesempatan yang tidak diharapkan,” Frasa “if the Sun had shone as brightly in its ‘youth’ as it does nowadays,” diterjemahkan dan diparafrase menjadi “jika Matahari pada ‘masa mudanya’ bersinar seterang  seperti saat ini” agar lebih mudah dipahami Tsa.
“Our results are based on theoretical models and are an important building-block in answering the question of the history of Venus,” says study co-author David Ehrenreich, professor in the Department of Astronomy at UNIGE and member of the NCCR PlanetS. “But we will not be able to rule on the matter definitively on our computers. The observations of the three future Venusian space missions will be essential to confirm — or refute — our work.” These prospects delight Emeline Bolmont, for whom “these fascinating questions can be addressed by the new Centre for Life in the Universe, which has just been set up within the UNIGE’s Faculty of Science.” https://www.sciencedaily.com/releases/2021/10/211013114018.htm“Hasil kami didasarkan pada model teoretis dan merupakan blok bangunan penting dalam menjawab pertanyaan tentang sejarah Venus,” kata rekan penulis penelitian David Ehrenreich, profesor di Departemen Astronomi di UNIGE dan anggota NCCR PlanetS. “Tapi kami tidak akan dapat memutuskan masalah ini secara definitif di komputer kami. Pengamatan dari tiga misi luar angkasa Venus di masa depan akan sangat penting untuk mengkonfirmasi – atau menyangkal pekerjaan kami.” Prospek ini menyenangkan bagi Emeline Bolmont, yang mana “pertanyaan-pertanyaan menarik ini dapat dijawab oleh Pusat Kehidupan di Alam Semesta , yang baru saja didirikan di Fakultas Sains UNIGE.”   https://www.sciencedaily.com/releases/2021/10/211013114018.htm
Frasa “says study co-author “ diterjemahkan ke kata rekan penulis penelitian. Kata  “Venusian” diterjemahkan ke venus guna menjaga pemahaman pembaca Tsa. For whom “these fascinating questions can be addressed  diterjemahkan ke yang mana “pertanyaan-pertanyaan menarik ini dapat dijawab.

Dalam proses penerjemahan di atas, diusahakan nuansa nada (tune) dan warna bahasa dari TSu yang bersifat sains dan report dipertahankan, tetapi untuk menghindari kesan misterius dan kebingungan para pembaca TSa secara umum, maka struktur kalimat dan pemilihan kata dalam BSa terkadang mengalami proses parafrase atau perubahan bentuk frase.

KESIMPULAN DAN SARAN

  • Kesimpulan

            Dari serangkaian proses penerjemahan dan analisis komparatif TSu dan TSa hasil terjemahan dapat diambil kesimpulan bahwa teks laporan sains banyak mengandung nuansa alam dan istilah ilmiah. Sehingga penerjemah perlu membaca secara berulang-ulang serta merenungkannya untuk dapat meresapi maksud penulis.

            Ditemukan pula bahwa teks jenis laporan sains mengandung retorika dan  sintaksis waktu tenses BSu (yaitu bahasa Inggris). Karena BSa (bahasa Indonesia) tidak mempunyai perbedaaan kala waktu tenses, maka dibutuhkan metode parafrase untuk dapat menerjemahkan maksud penulis secara tepat kepada pembaca.

  • Saran

            Sebagai penyempurnaan dari karya tulis ini, disarankan kepada pembaca maupun penulis sendiri agar memperbaiki hasil terjemahan. Ulangi dari langkah membaca, menganalisa, menterjemahkan, dan menganalisanya. Dengan demikian akan dapat diperoleh hasil dengan nuansa nada dan warna kebahasaan yang lebih baik pada karya-karya teks laporan sains dan yang sejenis dengannnya.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Hoed, B. H. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta. PT Dunia Pustaka Jaya.

[2]Newmark, P. 1981. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press.

[3]Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. London: Prentice Hall.

[4]Nida, E.A dan Taber, C. 1982. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill.

[5] Nida, E.A. 1964: Toward a Science of Translating with Special

[6] Reference to Principles and ProceduresInvolved in Bible Translating. Leiden: E.J. Brill.

Baca Juga:

judul karya ilmiah sastra inggris

contoh judul karya ilmiah ut

contoh karil ut sastra inggris bidang minat penerjemah

Pengalaman kuliah Sastra Inggris di UT

Contoh Karil UT yang diunggah

Originally posted 2022-12-03 06:28:00.

Tinggalkan komentar